Kudus, Kota Kretek: Ketika Sejarah dan Kebijakan Bertemu di Satu Titik

5 Desember 2025

 


Siapa yang menyangka, tembakau, tanaman yang awalnya tumbuh di Benua Amerika, akan menjadi ‘emas hijau’ setelah menyebrangi laut belasan ribu kilometer jauhnya. Sejak tiba diNusantara pada awal abad ke-17, tembakau menjadi salah satu tanaman kaya manfaat yang banyak digemari oleh masyarakat untuk tujuan rekreasi. Tembakau, meski begitu, baru menemukan belahan jiwanya melalui tangan Haji Djamhari. Suara kretek-kretek dari lintingan tembakau cengkih yang ia bakar, menjadi sebuah bunyi onomatope yang kelak memberi nama pada salah satu industri paling kontroversial namun vital di nusantara. Bukan sekadar asap, ini adalah jejak napas Haji Djamhari yang sesak di akhir abad ke-19, yang tanpa sengaja melahirkan sebuah peradaban industri.


Hari ini, Pemerintah Kabupaten Kudus mengambil langkah berani. Melalui Keputusan Bupati Nomor 400-6/311/2025, kota ini tidak lagi malu-malu. Mereka membuang slogan pariwisata "The Taste of Java" yang generik dan kembali memeluk takdir sejarahnya: Kudus Kota Kretek. Ini bukan sekadar ganti baju citra atau city branding semata. Ini adalah sebuah pengakuan jujur—sebuah rekonsiliasi antara kebijakan negara dengan denyut nadi ekonomi yang telah menghidupi kota ini selama lebih dari satu abad.


Mitos Djamhari dan Imperium Nitisemito


Mari memutar waktu ke belakang, ke dekade 1880-an. Naskah Akademik yang disusun Tim Historia.ID mencatat momen magis ketika Haji Djamhari, seorang penduduk lokal yang menderita asma, bereksperimen dengan cengkih. Ia tidak sedang mencari kekayaan; ia mencari kesembuhan. Cengkih dirajang, dicampur tembakau, dibungkus klobot jagung. Hasilnya? Sesak dadanya reda. Namun, yang lahir kemudian bukan hanya obat, melainkan sebuah komoditas budaya.


Jika Djamhari adalah penemu yang tidak sengaja, maka Nitisemito adalah sang visioner yang sengaja. Dialah yang mengubah "obat sesak" itu menjadi emas hijau. Pada 1908, Nitisemito mendaftarkan NV Bal Tiga, sebuah langkah revolusioner di zaman ketika pengusaha pribumi masih dipandang sebelah mata oleh kolonial Belanda. Nitisemito bukan pedagang biasa. Ia menyewa pesawat Fokker untuk menyebar pamflet—sebuah strategi pemasaran yang bahkan belum terpikirkan oleh pesaing-pesaing Eropanya kala itu. Sukarno, dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, bahkan menyebut namanya sejajar dengan tokoh besar lainnya, sebagai bukti bahwa kemandirian ekonomi bumiputra itu nyata.


Penyelamat di Kala Malaise


Sejarah sering kali berulang dengan cara yang ironis. Ketika Depresi Besar (Malaise) menghantam dunia pada 1930-an, merontokkan industri gula dan karet milik modal asing, industri kretek di Kudus justru berdiri tegak. Catatan sejarahmengungkap fakta mencengangkan: di saat pabrik-pabrik besar gulung tikar, kretek menjadi jaring pengaman sosial. Sistem "Abon"—di mana pekerjaan melinting rokok didistribusikan ke rumah-rumah penduduk—membuat ekonomi rakyat tetap berputar. Kretek menjadi benteng terakhir ekonomi pribumi menghadapi badai global.


Namun, jalan tak selalu mulus. Tahun 1932, Pemerintah Kolonial lewat Staatsblad 1932 No. 517 mencoba mencekik industri ini dengan cukai tembakau yang menindas. Nitisemito sempat menutup pabriknya sebagai protes. Hari ini, tantangan itu bermetamorfosis dalam bentuk regulasi kesehatan global. Namun, esensinya tetap sama: kretek selalu berada di persimpangan antara dipuja sebagai penopang ekonomi dan dicerca karena dampaknya.


Realitas Ekonomi yang Tak Terbantahkan


Mengapa Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris, begitu tegas menetapkan "Kota Kretek" sebagai citra kabupaten, bahkan mencabut SK branding lama? Jawabannya terletak pada angka-angka dingin yang tak bisa berbohong. Data tahun 2023menunjukkan bahwa industri pengolahan di Kudus yang didominasi oleh industri pengolahan tembakau menyumbang 78,10% dari PDRB Kudus-sebuah angka raksasa senilai Rp 94,73 miliar.


Lebih dari itu, ini adalah tentang manusia. Industri ini menyerap lebih dari 101.000 tenaga kerja, di mana mayoritasnya adalah perempuan. Mereka adalah ibu-ibu pelinting Sigaret Kretek Tangan (SKT), yang dengan jemari terampilnya menopang ekonomi keluarga, menyekolahkan anak-anak hingga universitas, dan menjaga dapur tetap berasap. Menghapus identitas kretek dari Kudus sama saja dengan mengingkari keringat ratusan ribu perempuan tangguh ini.


3 Oktober: Menancapkan Tonggak Ingatan


Salah satu poin krusial dalam keputusan bupati ini adalah penetapan tanggal 3 Oktober sebagai "Hari Kretek". Tanggal ini dipilih bukan karena Djamhari menemukan racikannya—sebabsejarah lisan jarang mencatat tanggal presisi—melainkan merujuk pada berdirinya Museum Kretek pada tahun 1986.


Pemilihan tanggal ini simbolis namun strategis. Museum adalah manifestasi fisik dari peran Kudus sebagai "penjaga" warisan budaya. Dengan keputusan ini, kretek bukan lagi sekadar barang dagangan kena cukai. Ia naik kelas menjadi "Objek Pemajuan Kebudayaan", sebuah Intangible Cultural Heritage yang diakui negara. Ini adalah strategi pertahanan kebudayaan yang cerdas. Jika kretek diserang sebagai produk tembakau semata, ia rapuh. Namun sebagai produk budaya yang memuat pengetahuan tradisional, seni meracik, dan sejarah gotong royong, ia memiliki imunitas.


Epilog: Sebuah Identitas yang Jujur


Penetapan Kudus Kota Kretek adalah sebuah kemenangan akal sehat atas pencitraan yang artifisial. Kudus tidak perlu menjadi "The Taste of Java" yang samar. Ia adalah Kudus, tempat di mana aroma cengkih menyatu dengan udara, tempat Nitisemito pernah menerbangkan Fokker, dan tempat ribuan perempuan melinting harapan di setiap batang kretek.


Ini adalah pengakuan bahwa di balik setiap kepulan asap, ada sejarah perlawanan, kemandirian ekonomi, dan warisan leluhur yang menolak untuk padam. Pemerintah Kabupaten Kudus telah meletakkan fondasinya. Kini, tugas sejarah adalah memastikan bahwa "Kota Kretek" tidak hanya menjadi kenangan di museum, tetapi tetap menjadi napas hidup bagi warganya di tengah gempuran zaman.

(Diskominfo Kudus)